MOGA BUNDA DISAYANG ALLAH
Identitas buku
Judul buku
: Moga Bunda Disayang Allah
Penulis
: Tere Liye
Penerbit
: Republika
Jumlah halaman
: 306 halaman
Tahun terbit
: Cet. XXIV, September 2016
Dimensi buku
: 20.5 x 13.5 cm
Harga buku
: Rp. 50.000;
Latar belakang pengarang
Tere Liye merupakan nama pena penulis novel di Indonesia. Tere Liye lahir di Lahat, 21 Mei 1979 dengan nama asli Darwis. Tere Liye adalah anak keenam dari tujuh bersaudara. Kehidupan masa kecil yang dilalui Tere Liye penuh dengan kesederhanaan yang membuatnya tetap sederhana hingga kini. Sosok Tere Liye terlihat tidak banyak gaya dan tetap rendah hati dalam menjalani kehidupannya.
Tere Liye menempuh pendidikan dasar di SD Negeri 2 Kikim Timur, Sumatera Selatan. Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 2 Kikim, Sumatera Selatan. Setelah itu, pendidikan menengah atasnya di SMAN 9 Bandar Lampung. Setelah lulus SMA, ia melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Indonesia dan berkuliah di Fakultas Ekonomi.
Karya-karya Tere Liye sangatlah menyentuh hati ketika kita membacanya. Seperti salah satu karya novelnya yaitu, Moga Bunda Disayang Allah yang sudah diangkat ke layar lebar.
Berikut karya-karya Tere Liye yang lain :
Bumi (2014)
Bulan (2015)
Matahari (2016)
Bintang (2017)
Komet (2018)
Ceros dan Batozar (2018)
Komet Minor (2019)
Hujan (2016)
Pulang (2015)
Pergi (2018)
Rindu (2014)
Pukat (2010)
Burlian (2009)
Eliana (2011)
Amelia (2013)
#AboutLove (2016)
#AboutFriends (2017)
Negeri Di Ujung Tanduk (2013)
Sepotong Hati Yang Baru
Negeri Para Bedebah (2012)
Berjuta Rasanya
Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah (2012)
Sunset Bersama Rosie (2008)
Kisah Sang Penandai (2007)
Ayahku (BUKAN) Pembohong
Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin (2010)
Hafalan Shalat Delisa (2005)
Moga Bunda Disayang Allah (2005)
Bidadari-Bidadari Surga (2008)
Rembulan Tenggelam di Wajahmu (2009)
Dikatakan Atau Tidak Dikatakan, Itu Tetap Cinta
Tentang Kamu (2016)
Harga Sebuah Percaya
Si Anak Kuat (2018)
Si Anak Pemberani (2018)
Si Anak Pintar (2018)
Si Anak Spesial (2018)
Dia Adalah Kakakku (2018)
Inti atau isi resensi
Novel ini menceritakan seorang anak dari seorang pengusaha sukses, yang bernama Melati. Bocah berusia 6 tahun yang mengalami kebutaan dan tuli sejak dia berusia 3 tahun. Selama 3 tahun ini dunia melati begitu gelap. Melati tidak pernah mendapatkan cara untuk mengenal apa yang ingin dikenalnya. Rasa ingin tahu yang dipendam bertahun tahun itu akhirnya memuncak, menjadikan Melati menjadi frustasi dan sulit dikendalikan. Melati hanya bisa mengucap Baa dan Maa. Orang tuanya (keluarga HK) berusaha berbagaicara untuk menyembuhkan Melati. Bahkan rela mengundang tim dokter ahli dari berbagai wilayah demi kesembuhan putri semata wayangnya. Sampai suatu ketika Tuhan memberi petunjuk demi kesembuhan Melati melalui seorang pemuda pemabuk.
Pemuda itu bernama Karang, pemuda yatim piatu dan mempunyai kehidupan yang “kurang beruntung sejak kecil”. Dia mempunyai tekad yang kuat untuk menjadikan kehidupannya sendiri lebih baik. Sampai akhirnya Ia bersama teman-temannya mendirikan belasan taman bacaan, memberikan dongeng-dongeng ringan dan memiliki makna bagi anak-anak tersebut, hingga ada seorang anak bernama Qintan (6 tahun) yang dari lahir lumpuh-layu, akhirnya bisa berlari, hanya karena mendengarkan cerita Karang yang memotivasi.
Namun itu hanya masa lalu, ia kini seorang pemabuk yang terbelenggu perasaan bersalah setelah kematian 18 anak didiknya dalam kecelakaan kapal. Perasaan bersalahnya hampir setiap hari menghantuinya selama 3 tahun terakhir. Dia bahkan seakan memiliki gairah hidup. Hanyalah sosok Ibu gendut yang selalu mendoakannya, menyemangatinya dan selalu menemaninya dalam kesendiriannya.
Hingga akhirnya Nyonya HK (Bunda Melati) memohon agar dirinya mau membantu mengajari melati. Sempat terjadi penolakan dari dirinya karena trauma kejadian 3 tahun lalu. Hinga akhinya ia memutuskan untuk menerima permintaan keluarga HK. Dorongan dari Ibu gendut dan sifat kemanusiannya itulah yang menjadikan ia mau menerima tawaran tersebut.
Sempat terjadi penolakan dari Tuan HK terhadap Karang, karena melihat penampilan pemuda tersebut. Terlebih ketika ia mengajari Melati dengan kasar. Wajar saja Tuan HK menolak, Orang tua mana yang tega melihat anaknya yang di bentak oleh orang lain, apalagi setelah Tuan HK tahu bahwa pemuda itu seorang pemabuk. Ia marah besar dan bertekad untuk mengusir Karang. Namun karang bersih keras karena merasa sudah terikat perjanjian untuk mendidik Melati.
Sampai suatu ketika keajaiban terjadi, harapan dan mimpi Bunda menjadi nyata. Melati sudah bisa makan menggunakan sendok dan garpu. Semua itu tidak terlepas dari peranan Karang yang selalu mengajari Melati. Melati mulai bisa mengenali benda disekelilingnya seperti, kursi, sendok, pohon dan orang-orang terdekatnya. Bahkan, Melati mulai bisa berkomunikasi dengan orang lain meski dengan bahasa yang tak lazim seperti orang pada umumnya.
Di sisi lain, Karang seakan mendapat berkah dari Tuhan. Ia dipertemukan kembali dengan gadis yang pernah dulu mencintainya dirumah keluarga HK. Sampai akhirnya, keluarga HK mengajak Karang untuk menyaksikan pesta kembang api ditengah kota. Namun tak pernah disangka oleh Karang, sebelum pergi ke kota mereka akan makan malam bersama dengan keluarga dokter Ryan (orang tua Kinasih). Karang sedikit salah tingkah karena grogi. Usai makan malam, kedua keluarga melanjutkan menuju kota untuk melihat kembang api.
Terlihat kegembiraan diwajah semuanya, terlebih keluarga HK. Karena sudah 3 tahun ini mereka tidak pernah merayakan pesta kembang api karena Melati sakit. Dan kisah ini diakhiri dengan pamitnya Karang dari rumah keluarga HK. Mesti terlihat kesedihan dari Melati, karena akan ditinggal gurunya yang selalu membimbing dan mendongeng untuknya. Untuk menghilangkan kekesalan, melati melepas ayam kate dengan Mang Jeje. Ucapan terimakasih dan doa Melati mengiringi kepergian Karang. Keluarga HK juga terima kasih kepada pemuda mantan pemabuk itu. Berkat jasanya, setidaknya anak semata wayangnya dapat mengenal dunia.
Keunggulan
Dalam novel ini, pengarang menciptakan karakter Melati, Bunda dan Karang dalam sosok masing-masing yang tidak bisa dibedakan mana yang lebih pantas disebut sebagai tokoh utama. Di sini benar-benar terasa adanya tiga tokoh utama yang memiliki kedudukan sama sebagai agen penderita, agen perubahan, dan agen pencerahan. Menyadarkan kita bahwa manusia dalam kedudukannya sendiri-sendiri yang sebenarnya sedang melakoni peran penting dalam kehidupan nyata. Cerita ini menceritakan perjuangan hidup sulit yang dialami oleh anak-anak. Baik itu Karang yang yatim piatu maupun Melati dengan segala kekurangannya. Namun ada satu kesamaan antara mereka, anak-anak selalu punya janji masa depan yang lebih baik. Penulis berulang kali mengungkapkan kalimat yang mengingatkan pembaca untuk bersabar dan bersyukur “Hidup ini adil, sungguh Allah Maha Adil, kitalah yang terlalu bebas sehingga tidak tahu dimana letak keadilanNya, namun bukan berarti Allah tidak adil”. (hal 238)
Cover novel memiliki gambar yang menarik dan font tulisan judul yang menarik juga.
Ceritanya sangat memotivasi para pembaca. Sehingga cocok untuk dibaca semua kalangan umur.
Penggunaan kata sehari-hari dalam penulisannya menyebabkan para pembaca seolah-olah terbawa oleh cerita tersebut. Seperti dalam kalimat, “Bunda mengusap matanya. Melipat dahi. Seperti baru menyadari sesuatu.” (hal 6)
Kekurangan
Sedikit mengunakan kata-kata yang kurang bisa di pahami.Kata-kata yang di pakai sedikit mempersulit pembaca dan membuat bosan karena terlalu banyak. Seperti: “Mata hitam biji buah lecinya sekali terpejam” ( hal 196), “Tidak ada lagi ekspresi tak-peduli dan mulut pernuh sarkasme”(hal 288)
Istilah kata yang digunakan banyak yang menggunakan bahasa islami seperti penggunaan kata “duduk takzim” di kalimat, “Ia duduk takzim di ruang tengah yang disulap menjadi tempat belajarnya”. (hal 283)
Cerita ini ditulis dalam gaya bahasa sehari-hari yang tidak baku. Penggunaan berulang-ulang kosakata yang tidak baku serta kalimat tambahan yang tidak perlu mengganggu kenyamanan dalam membaca. Seperti penggunaan kata “ibu-ibu gemuk” di kalimat, “Sepanjang hari ini, ibu-ibu gendut pemilik rumah itu sudah dua kali naik ke kamar atas.” yang artinya menunjuk pada seorang ibu yang bertubuh subur (hal 26) dan kata “anak-anak” di kalimat, “Anak-anak itu memenuhi gang-gang dengan celoteh.” (hal 22) untuk penunjukan kata benda seorang anak.
Penutup
Novel ini mengajari tentang perjuangan, kasih sayang, dan ketulusan. Hal ini tercermin dari perilaku tokoh-tokohnya dengan tokoh sentral yang diperankan oleh Melati dan gurunya yang bernama Karang. Walaupun Melati dan Karang mempunyai permasalahan sendiri-sendiri. Dan mereka tidak selalu bisa menyelesaikan seluruh permasalahan itu. Begitulah Tere menggambarkan bahwa manusia merupakan makhluk yang tidak sempurna, oleh karena itu terkadang mereka juga membutuhkan orang lain untuk saling membantu.
Penulis mampu menggambarkan bahwa manusia itu mempunyai keterbatasan. Manusia itu lemah tanpa bantuan Tuhannya. Manusia juga tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan manusia lain. Tidak ada segala sesuatu di dunia ini yang benar-benar sempurna. Kecuali Allah, Tuhan alam semesta. Semua makhluk bersifat lemah dan mempunyai keterbatasan. Termasuk manusia yang diciptakan paling sempurna di antara makhluk lainnya. Karena manusia berbeda dengan Allah,khalik-Nya. Maka dari itu, manusia sebaiknya menghindari sifat sombong dan takabur karena tidak selayaknya manusia bersikap melampaui Tuhannya. Karena yang patut untuk sombong hanya Allah semata. Di balik kesederhanaan novel ini, tersimpan sebuah pelajaran yang dapat dipetik oleh para pembacanya. Apa itu makna perjuangan, kasih sayang, dan ketulusan. Serta bagaimana meraih kesuksesan di balik segala kekurangan, keterbatasan, dan ketidaksempurnaan seseorang.
Ada beberapa metode / teori yang di ajarkan pada novel ini, metode yang paling utama pada novel ini yaitu metode tadoma (Fedro Ponce de Leon), adalah metode yang digunakan untuk berkomunikasi dengan orang bisu, buta ataupun tuli dengan menempatkan jempol mereka pada bibir pembicara dan jari-jari disepanjang garis rahang. Tiga jari tengah berada disepanjang pipi pembicara dengan jari kelingking merasakan gerakan tenggorokan pembicara. Hal ini kadang-kadang disebut sebagai ‘membaca gerakan bibir’. Dengan begitu si Melati dapat merasakan getaran bibir serta getaran pita suara yang dilakukan oleh Pak Guru Karang.
Sedangkan metode lain yang menunjang pembelajaran Melati yaitu diantarnya meliputi metode pemberian nasehat, metode pembiasaan dan metode pemberian hukuman serta metode pembagian cerita. Mengenai metode pendidikan agama islam dalam novel tersebut menceritakan tentang seseorang yang bernama Karang yang berusaha mengajarkan metode pembiasan kepada anak yang bisu, tuli, dan buta yaitu Melati yang pertama kalinya diajarkan dan di kenalkan tentang sendok dan garpu, yang pada awalnya ditentang oleh ayahnya Melati, yaitu dengan membiasakan melatih Melati makan sendiri menggunakan sendok walaupun dengan cara agak kasar Karang melatihnya, tapi akhirnya Melatipun bisa makan sendiri sup mangkuknya menggunakan sendok walaupun pada akhirnya harus tumpah berulang-ulang dan berserakan dimana-mana.
Pada metode pemberian hukuman yaitu Melati tidak diberi makan selama 2 hari. Hal ini bertujuan agar dia bisa mengenali kursi dan duduk di kursi tersebut. Pada awalnya Karang mengenalkan sebuah kursi pada Melati, dan menyuruhnya untuk menduduki kursi tersebut, Melati terus memberontak karena dia tidak suka disuruh. Sebagai hukumannya Melati tidak di beri makan selama 2 hari, Karang sengaja meletakkan mangkuk makanan di atas meja tinggi yang hanya bisa digapai oleh kursi. Dengan susah payah dan terus berusaha akhirnya Melati mengambil makanannya dan duduk di kursi tersebut. Walaupun dia sendiri tidak tahu benda apa itu kursi.
Dalam metode pembagian cerita, disini Karang menceritakan tentang tarian Aurora yang indah di malam hari. Melati nampak serius mendengarkan cerita dari Karang walaupun aslisnya dia tidak begitu mengerti. Namun, seolah-olah Melati begitu menghayati ceritanya dan duduk manis bersandar di pangkuan Karang. Pada metode pemberian hadiah disini Karang benar-benar sudah frustasi. Dia membiarkan Melati bermain sendiri selama 3 hari, sedangkan dia sibuk memikirkan langkah pembelajaran selanjutnya. Akhirnya Karang memberikan Melati boneka panda bekas boneka dari Qintan murid didiknya yang sangat ia sayangi, namun sayangnya Qintan telah tiada terhempas ombak laut. Disini Karang juga bercerita tentang Qintan kepada Melati walaupun sesungguhnya Melati tidak mengenali siapa itu Qintan.
Keajaiban besar datang ketika Melati keluar bermain dengan air, melalui telapak tangan itulah karang menuliskan kata Air, Melati benar-benar merasakan kehadiran air. Dan akhirnya Melati mengerti benda yang menyenangkan itu bernama air. Melalui telapak tangan Melati, air mancur yang mengalir di tangan dan sela-sela jarinya berhasil mencukilnya. Melalui telapak tangan itulah semua panca indera disitu. Akhirnya dunia Melati mulai hidup. Dia bisa mengenali orang tuanya dan dunianya. Tangan Melati kembali di pegang oleh Karang, dengan meletakkan tangan Melati ke mulutnya sebagai simbol komunikasi.
Dalam novel tersebut Tere-Liya banyak menyampaikan pesan kesabaran, yang dapat memberi pencerahan melalui tokohnya kepada pembaca sehingga dapat diambil hikmah dengan mencontoh sifat baik dan meninggalkan sifat buruk.
Novel ini juga mengajak kepada pembaca untuk mengasah ketajaman spritual tentang keihlasan dalam menerima kenyataan dari Allah dan mencoba untuk tidak terus menerus tenggelam dalam lumpur penyesalan. Selain itu, novel ini cocok untuk dinikmati oleh semua kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa karena bahasanya mudah dipahami. Buku ini sangatlah bagus,setelah membaca novel ini kita dapat menyimpulkan banyak sekali kebaikan yang terkandung dan menyadarkan kita akan pentingnya kita bersyukur atas semua pemberian allah kepada makhluknya,banyak yang kurang beruntung dari pada kita.seharusnya kita sangatlah bersyukur dengan kehidupan sudah kita punya.